Menilik Pandemi Covid-19 yang Pelik

Oleh: Yusi Nurcahya Dewi dan Hanna Suryadika

 

World Health Organization (WHO) pertama kali mendapat laporan adanya kasus pneumonia di Wuhan, China pada 31 Desember 2019. Penyakit tersebut yang dibawa oleh virus kemudian mulai mewabah pada 30 Januari 2020, tepat 1 bulan setelah dilaporkan China. Hingga 1 bulan kemudian, WHO resmi memberi nama virus ini sebagai Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 per tanggal 11 Februari 2020.

Di bulan berikutnya, Indonesia kemudian mengumumkan kehadiran virus ini. Sejak pertama kali diumumkan secara resmi oleh Presiden didampingi Menteri Kesehatan tanggal 2 Maret 2020 pada waktu siang hari tentang kasus pertama Covid-19 di Indonesia di depan sejumlah awak media istana, berita pun kemudian menyebar pesat sehingga kemudian tampak pemandangan yang tidak biasanya di supermarket: ramai seperti menjelang hari raya Idul Fitri. Sembako, sabun cuci tangan, masker, handsanitizer, vitamin, bahkan mie instan diburu pengunjung. Di berbagai rak-rak supermarket, tidak nampak sisa dagangan yang disajikan: daging ayam, ikan, sayur-mayur dan buah lokal ludes. Bahkan sayuran hidroponik yang jarang dilirik akibat mahalnya harga, waktu itu ludes, tinggal air dan paralonnya saja yang tersisa. Orang-orang membeli beras bertumpuk-tumpuk dengan alasan untuk stok
pangan di rumah. Bahan makanan pengganti seperti roti dan sereal juga banyak diborong. Kepanikan semula memang sudah terpotret jelas di masyarakat. Semua orang panik mendengar kasus Covid-19 yang “akhirnya” masuk ke negara ini.

Di belahan dunia lain juga tak jauh berbeda, orang-orang di Amerika Serikat dan Australia berbondong-bondong memburu tisu toilet hingga menjadi salah satu barang langka selama beberapa minggu di kedua lokasi tersebut. Orang-orang berbelanja seolah tidak ada hari esok. Namun rupanya jika ditilik lebih jauh lagi, ada golongan masyarakat yang juga tidak rakus memburu bahan makanan, ada kaum tanggung hingga kelas menengah ke bawah yang masih kuat beli bahan makan tapi tidak kuat untuk menyetok banyak karena budget pas- pasan, merasa termarjinalkan. Dalam situasi panic buying seperti ini, mereka merupakan lapisan yang sangat terdampak sebab akan kehabisan bahan pokok sedang jika ingin memakai bahan makanan pengganti, biasanya harganya mahal, melebihi anggaran kebutuhan mereka. Akibat virus ini, dapat terlihat kekhawatiran berbeda dalam setiap orang yang mungkin sebelumnya tidak pernah terjadi.


Masa yang Berbeda
Kemudian sampailah hari di mana hingga sebagian kantor meminta para pegawainya untuk mengerjakan segala pekerjaan dari rumah, mulai dari instansi pemerintah, BUMN, startup kelas besar hingga yang baru merintis usaha, perusahaan swasta, hingga usaha-usaha kelas rumahan atau UMKM serta sektor akademik yang harus mengubah kegiatan belajar mengajar dari tatap muka menjadi daring, dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Rantai penularan bisa diputus dengan tidak adanya massa dalam jumlah yang besar berkumpul. Dalam hal ini, interaksi sosial masyarakat terpaksa dibatasi, bahkan diubah. Tentu hal ini menemui kesulitan dalam pelaksanaannya oleh sebab ini merupakan hal baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Terlebih kalau diamati, karakter masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat menengah, mempunyai karakter gemar berinteraksi sosial.

Bak efek domino, pandemi tentu membawa kabar buruk selain mengancam kesehatan. Mulai dari kaum kelas menengah ke bawah hingga para pekerja sektor informal adalah golongan yang terdampak paling besar dari krisis semasa pandemi Covid-19 ini merebak. Imbas dari peraturan untuk bekerja di rumah tentu saja dialami kelas menengah ke bawah secara materiil. Ekonomi melemah karena banyak sendi-sendi ekonomi yang terkunci dan tidak dapat beroperasi normal sehingga dampaknya PHK massal, pekerja sektor informal dan buruh harian terdampak paling parah. Meski cukup terguncang dengan dinamika yang timbul akibat pandemi, kaum menengah yang tanggung ini patut masih bersyukur karena disadari bahwa masih banyak orang lainnya tidak seberuntung itu di tengah tidak menentunya kondisi pandemi.

Sebagai contoh, sektor pariwisata adalah salah satu yang terdampak pertama kali. Pariwisata lumpuh seiring mulai digencarkannya imbauan untuk tidak bepergian dari pemerintah di seluruh dunia. Hingga awal Maret misalnya saja di Bali, hotel dan jalanan sudah mulai sepi. Turis banyak yang membatalkan kedatangannya. Dengan tidak adanya turis dan pengunjung, jaringan hotel seakan mati segan hidup tak mau. Bali menjerit seperti kota mati, bahkan di Kuta jalanan sepi, pantai seperti tak ada peminatnya. Jumlah mobil dan motor yang melintas dapat dihitung, kemacetan yang biasanya membuat sempit jalanan di Kuta jadi lengang. Kuta di awal pandemi masuk ke Indonesia seakan lebih awal menjemput malam, sunyi dan gelap terasa datang lebih cepat. Demikian pula dengan kota lainnya di Indonesia yang hidup dari sektor pariwisata mungkin kini harus lebih mengencangkan ikat pinggangnya.

Namun demikian, pandemi ini tidak hanya membawa permasalahan dari sisi ekonomi saja, sisi lain yang jelas terdampak di seluruh kalangan masyarakat adalah sisi psikologis masyarakat. Boleh dibilang, terlepas dari sebagaimana baik setiap orang dalam mengelola kondisi psikis mereka, seluruh lapisan masyarakat akan mengalami dampak ini. Tetapi, ada klasterisasi masyarakat berbanding lurus dengan kondisi psikis yang dialami. Masyarakat dari kalangan atas, barangkali akan dapat menyesuaikan diri dengan cepat terhadap seluruh pembatasan interaksi sosial. Mereka akan dengan mudah mengubah metode interaksi sosial secara langsung menjadi virtual. Dilema yang besar justru akan dirasakan oleh kalangan masyarakat menengah. Masyarakat menghadapi sebuah keterbatasan besar untuk dapat mengubah metode tersebut. Fasilitas virtual yang sarat akan kecepatan teknologi membutuhkan biaya tidak murah. Hal ini bisa menjadi sebuah kebutuhan tersier bagi kalangan masyarakat menengah-bawah. Sedangkan dalam masa pandemi ini, tuntutan kebutuhan akan sangat terfokus pada kebutuhan pokok sehari-hari. Oleh sebab mengalami keterbatasan dalam mewujudkan interaksi sosial secara virtual, sebagian dari masyarakat menengah kontra terhadap imbauan dari pemerintah untuk mengerjakan segala hal dari rumah. Kecemasan akan semakin bertambah seiring dengan tidak ada yang dapat menjamin atau memprediksi berakhirnya masa pandemi ini.

Sebagai gambaran, masyarakat middle-class yang bekerja sebagai buruh biasanya bertemu rekan sejawat di bekeja, kali ini dalam 24 jam hanya akan bertemu dengan keluarga baik itu orang tua, anak, pasangan suami/istri yang juga harus didampingi penuh dari rumah. Meskipun sama-sama mendapat tekanan, tetapi di saat bekerja setidaknya kami bisa melampiaskan tekanan tersebut dengan bergurau bersama rekan kerja di dekat mesin fotokopi atau sembari menikmati makan siang bersama di jam istirahat. Hanya saja kenyataannya di sosial media mulai didapati setelah 2 bulan lebih di rumah saja, banyak orang yang mengeluh tidak tahan jika harus 24 jam terus menerus bersama keluarga yang dikasihinya. Betul memang keluarga adalah harta yang paling berharga, tempat pulang ternyaman. Namun jika bertemu terus menerus 24 jam tanpa putus, rupanya muncul istilah baru yang menjadi guyonan baru ala milenial yakni: “Keluargaku, Surgaku, Pecah Kepalaku”.

Sektor Esensial
Dalam kondisi pandemi seperti ini, faktor ekonomi adalah salah satu sisi yang tergerus secara nyata dan tentu hal ini cukup berdampak bagi kehidupan banyak orang. Dari klasifikasi kalangan masyarakat tersebut, terdapat kalangan rentan yang terpaksa tetap menghadapi risiko besar untuk terpapar atau memaparkan virus ini. Sektor esensial merupakan istilah yang digunakan pemerintah untuk mengatur jalannya pembatasan sosial di masyarakat. Betul memang terjadi kegiatan pembatasan sosial, namun demikian kehidupan masyarakat harus tetap berlangsung. Sektor yang harus memastikan kebutuhan masyarakat berlangsung inilah yang disebut dengan sektor esensial dalam masa pandemi ini.

Sektor esensial akan berusaha memenuhi demand kebutuhan pokok selama pandemi. Itu artinya, sektor ini tidak bisa melakukan pekerjaan dari rumah. Hanya saja, regulasi mereka diatur menggunakan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Bekerja dengan memakai masker, rajin cuci tangan selama di kantor atau saat bertugas, juga jaga jarak dengan rekan kerja tetap dilakukan. Orang-orang yang bekerja di sektor ini adalah salah satu contoh orang-orang yang melakukan pertarungan masa kini. Dapat dibayangkan seperti pengemudi ojek online, atau mereka yang bekerja dengan berdagang keliling setiap harinya, atau seperti buruh pabrik kebutuhan pokok dan kesehatan yang diupah harian maka mau tidak mau menganggap pandemi ini lebih dari sekadar masalah kesehatan tapi juga perihal hidup mereka.

Pelaksanaan Pembatasan Sosial
Berbagai cara, kebijakan, maupun strategi dijalankan untuk melawan Covid-19. Mulai dari masyarakat sipil, tenaga kesehatan, pemerintah, maupun TNI/ Polri dikerahkan untuk memerangi musuh yang tak kasat mata ini. Semakin tak terlihat musuhnya, peperangan ini - jika tak mau dibilang sulit- semakin terasa tantangannya. Oleh karena itu, tidak heran masih banyak masyarakat yang terlihat menyepelekan kehadiran virus ini. Masih banyak masyarakat yang mengabaikan imbauan untuk tetap di rumah saja dan menjaga jarak. Mungkin pikirnya virus ini tak ada di sekelilingnya karena masih belum ada orang di sekitarnya yang terjangkit. Meski demikian, sayangnya Covid-19 adalah jenis virus yang tidak mengenal status sosial, kemampuan ekonomi, atau hal-hal duniawi lainnya karena siapa saja dengan mudahnya terjangkit atau menjadi pembawa virus.

Pemerintah sampai saat ini masih diharapkan untuk bisa menyelamatkan rakyat dari bahaya wabah yang berkepanjangan. Di tengah berbagai macam kebijakan yang dinamis seakan berpacu berkejaran dengan waktu dan keselamatan rakyat, pemerintah Indonesia dari segala lini mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pemberian bantuan sosial tunai dan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, pengucuran insentif Rp405,1 Triliun, hingga larangan mudik yang sudah digencarkan sejak bulan lalu. Tujuan utama dari pemberian bantuan maupun insentif ini adalah sebagai obat pelipur lara dari pemerintah untuk masyarakat pra sejahtera yang kehilangan pekerjaannya atau kehilangan kesempatan bekerja selama masa pandemi.

Masyarakat yakin bahwa negara akan mampu melewati masa sulit ini. Masyarakat kemudian meningkatkan solidaritasnya dengan sesama melalui gerakan gotong royong. Seluruh elemen masyarakat terlibat dalam gerakan ini dengan berbagai macam kontribusi yang diberikan. Salah satu poin positif yang dapat kita lihat di balik musibah ini yakni meningkat inisiatif dari masyarakat yang tergerak untuk membantu sesamanya. Mari tengok dari sejumlah e-flyer donasi yang memenuhi linimasa mengajak banyak orang untuk menyumbang mulai dari Alat Pelindung Diri (APD), uang, makanan dan sembako, hingga menggalang dana dengan bentuk konser musik dari rumah seperti yang dilakukan oleh Narasi yang berhasil mengumpulkan donasi sebanyak Rp13.000.000.000. 

Tidak hanya solidaritas yang pendistribusian bantuannya dikelola secara mandiri oleh masyarakat, berbagai bantuan disalurkan melalui BNPB juga dibagikan secara langsung kepada masyarakat rentan. Komunitas saling tergerak untuk menghimpun bantuan dan menyalurkannya. Masyarakat saling berperan untuk melindungi kalangan rentan yang terdampak ekonomi akibat pandemi ini. Solidaritas ini tidak langsung terhenti begitu bantuan disalurkan seluruhnya, melainkan kontinu. Dari kontinuitas ini kemudian timbul sebuah pertanyaan besar tentang seberapa lamanya masyarakat akan menghadapi situasi seperti ini. Dengan kebijakan yang tepat sasaran, masyarakat diminta untuk tetap mematuhi apa yang telah dijadikan peraturan oleh pemerintah, situasi ini diharapkan akan segera berlalu.

Selain itu, pemerintah juga telah berupaya untuk memberikan pencegahan terhadap mobilisasi masyarakat dalam lingkup yang besar. Berdasarkan data yang dilansir dari Google Covid-19 Community Mobility Reports hingga 9 Mei di Indonesia secara total jumlah orang yang bepergian ke tempat transportasi publik seperti terminal dan stasiun turun 59% dan yang ke taman umum menurun hingga 52% dibandingkan periode 3 Januari-6 Februari atau masa sebelum badai pandemi memasuki Indonesia. Meski demikian menurunnya angka orang yang bepergian di luar rumah masih belum diiringi dengan keberhasilan melandaikan kurva penyebaran Covid-19.

Di Indonesia, DKI Jakarta adalah provinsi pertama yang menyatakan untuk karantina wilayah atau yang kini populer disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB di Jakarta resmi dimulai sejak 10 April 2020 yang disahkan lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020 yang kemudian diperpanjang secara bertahap hingga hari ini. Provinsi lain pun mulai menyusul, dimulai dari Bogor, Depok, Bekasi yang menjadi aglomerasi Jakarta hingga akhirnya satu Provinsi Jawa Barat dinyatakan memberlakukan PSBB.

Hingga hari ke 62 sejak diumumkannya kasus 01 Covid-19 di Indonesia, sudah lebih dari 17.500 orang dinyatakan positif Covid-19 dan 4.129 orang berhasil sembuh. Sudah 23% penyintas Covid-19 yang dinyatakan sembuh, apakah angka ini cukup menggembirakan? Lantas apakah strategi yang ditempuh hingga hari ini sudah cukup jitu untuk menghentikan penularan Covid-19?

Penambahan kasus yang fluktuatif di angka ratusan (per 17 Mei 2020) tampaknya tidak juga membuat jera masyarakat untuk tetap menahan diri tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Mendekati hari-hari menjelang Idul Fitri, bahkan Korlantas Polri dan Jasa Marga mencatat sebanyak 367.703 kendaraan meninggalkan Jakarta pada periode 17-21 Mei 2020. Meski besaran angka tersebut dinyatakan turun 61% dibandingkan periode yang sama pada periode Lebaran tahun 2019 lalu, ini adalah angka yang cukup fantastis mengingat larangan mudik sudah jauh-jauh hari digencarkan oleh berbagai institusi.

Indonesia telah melewati berbagai jenis kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah juga anjuran yang digaungkan oleh World Health Organization (WHO). Mulai dari awalnya ketika WHO menganjurkan bahwa Covid-19 dapat dicegah dengan rajin mencuci tangan dengan sabun, menjaga hidup bersih dan sehat, hingga yang paling populer baru-baru ini yaitu menggunakan masker.

Kesalahpahaman Konsep Aktivitas Esensial
Hari demi hari masyarakat tentu menerima kabar terbaru jumlah pasien yang menderita virus ini. Jumlahnya tentu semakin hari semakin naik. Apalagi virus ini mempunyai masa infeksi yang cukup lama, yaitu selama 14 hari bahkan lebih. Namun demikian, masyarakat bukannya semakin meningkatkan keketatan untuk karantina mandiri, masing-masing dari lapisan masyarakat malah memberikan kelonggaran untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Jalan-jalan mulai terlihat ramai oleh orang-orang yang ternyata tidak hanya melakukan kegiatan esensial seperti membeli bahan pokok atau obat-obatan. Banyak di antara mereka melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak terlalu pokok tetapi lama-kelamaan menjadi pokok karena tuntutan keadaan yang semakin lama semakin membuat tekanan yang besar di banyak lapisan masyarakat, termasuk kaum menengah ini. Sebagian besar dari mereka terpaksa melakukan aktivitas tersebut dengan interaksi yang canggung satu sama lain. Sebagai kaum yang tanggung dari segala sisi, tentu saja kelas menengah hanya bisa menyimak keadaan sekitar sebab tak seberapa bernyali untuk ikut serta bergabung dalam hiruk pikuk yang canggung itu. Pada suatu kesempatan ada saatnya harus datang menyelesaikan tugas di tempat kerja, dengan menempuh perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan mendapati fakta bahwa banyak saudara yang memang harus bekerja demi memenuhi kebutuhan utama. Sepanjang ruas jalur tambang pasir dari Gunung Merapi, masih terlihat para awak truk bekerja dan berkumpul dengan komunitasnya seperti sedia kala. Saat itu, kendaraan berjalan pelan beriringan dengan sebuah truk pengangkut pasir. Sebuah truk tua yang pada awalnya tidak terlalu menarik perhatian. Setelah diamati, di belakang bak truk tersebut terdapat kutipan kalimat yang digores dengan menggunakan cat yang masih terlihat baru bertuliskan: nuruti korona, ra mangan yang mempunyai arti: menuruti virus corona, tidak bisa makan. Tulisan itu bahkan masih baru, catnya masih menyala. Tentu tulisan tersebut tidak lahir secara cuma-cuma. Tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok tentu menjadi latar belakang utama dalam penyampaian pesan tersebut. Saat pandemi, memang disadari bahwa sebenarnya pengembangan infrastruktur tidak dinilai sebagai aktivitas di sektor yang esensial. Pada akhirnya tuntutan kebutuhan yang menjadikan mereka mempunyai esensi.

Seiring berjalannya waktu, ada oknum masyarakat yang mengalami gejolak psikis seperti telah dipaparkan sebelumnya, tampaknya mulai menggunakan celah aktivitas yang dilakukan oleh sektor esensial untuk memenuhi hasrat berinteraksi sosial mereka. Mereka ada yang secara sengaja menggunakan celah ini untuk melanggar imbauan pembatasan sosial. Namun ada juga mereka yang ternyata secara tidak sengaja melakukan aktivitas ini karena terdampak secara ekonomi. Hal ini mengakibatkan aktivitas masyarakat yang semula terasa sepi menjadi berangsur-angsur kembali seperti semula, seolah tidak ada pandemi atau adanya anggapan bahwa pandemi ini bukan sesuatu hal yang mengancam diri mereka.

Puncaknya adalah ketika momen menjelang hari raya Idul Fitri. Dari berbagai media daring, masyarakat terpantau melakukan aktivitas tanpa mengindahkan imbauan pembatasan sosial. Ternyata, budaya konsumtif menjelang hari raya merupakan suatu hal yang menjadi sebuah hal yang meleset dari skema pembatasan sosial yang diimbau untuk masyarakat. Memang, tidak semua dari mereka yang melakukan aktivitas berbelanja tersebut adalah masyarakat yang melakukan belanja kebutuhan barang tersier, justru yang mereka melakukan belanja untuk memenuhi kebutuhan hari raya yang mereka prediksi sendiri akan meningkat karena adanya kedatangan sanak saudara yang berkunjung. Sebagian mereka barangkali juga hanya melakukan belanja kebutuhan pokok lebih banyak dari biasanya dan untuk keluarga mereka saja sebagai bentuk kegembiraan karena telah melalui bulan Ramadan dengan baik. Namun bagaimanapun alasannya, seyogyanya aktivitas tersebut tidak dilakukan di tengah pandemi ini. Sebab ternyata prediksi masyarakat agaknya juga keliru. Silaturahmi yang biasanya dilakukan saat hari raya, sekarang benar-benar dibatasi. Regulasi ini justru diatur di tingkat Rukun Tetangga (RT). Berita dari media rupanya menyebar luas dan membuat kekhawatiran akan adanya klaster penularan di pusat berbelanjaan dan akan semakin memburuk jika ada penyebaran melalui kegiatan silaturahmi. Maka di tingkat RT, memperketat aturan kunjungan. Para warga diimbau melakukan gerakan tutup pintu. Tidak ada sanksi hukum jika warga melakukan pelanggaran. Sanksi sosial dinilai efektif untuk memperketat aturan tersebut.

Sampai Kapan?
Banyak pakar yang memprediksi kapan berakhirnya pandemi ini di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan darurat bencana non-alam sampai tanggal 29 Mei 2020. Mengutip prediksi Mark Woolhouse, seorang profesor epidemiologi dan penyakit menular dari University of Edinburgh di BBC News bahwa ada 3 cara untuk keluar dari masalah ini yaitu vaksin, kekebalan kelompok, dan perubahan perilaku permanen. Jika menunggu vaksin, maka waktu tercepat untuk dapat diberikan ke pasien adalah 12-18 bulan jika tak ada halangan. Sementara menunggu kekebalan kelompok atau yang akrab disebut herd immunity sangat sulit mengingat akan banyak orang yang terinfeksi. Dengan menanti sistem kekebalan kelompok ini muncul maka minimal waktu yang dibutuhkan adalah lebih dari 2 tahun. Opsi yang ketiga yakni perubahan permanen pada perilaku kita yang mencegah transmisi penularan virus. Gaya hidup baru maupun rapid test besar-besaran, serta isolasi pasien yang positif sesegera mungkin. Dengan cara ini, butuh lebih banyak waktu. Tidak ada batas waktu yang jelas jika Indonesia memilih cara ketiga, cara yang tidak sulit diterapkan namun juga tidak tergolong strategi yang jitu. Hingga saat ini nampaknya pemerintah masih bekerja keras untuk menentukan cara ampuh mana yang akan ditempuh. Namun demikian, dalam waktu dekat pemerintah akan menerapkan perubahan perilaku, meski belum tentu permanen, konsep ini kemudian familiar dengan nama New Normal.

Penutup
Pertarungan melawan Covid-19 adalah pertarungan jangka panjang. Hingga hari ini belum ada satu orang pun yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Tugas kita selanjutnya adalah bertahan hidup dengan sebaik-baiknya dan saling menjaga satu sama lain untuk seterusnya hingga pandemi benar-benar berakhir. Mengutip kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, “Covid- 19 has robbed us of people we love. It’s robbed us of lives and livelihoods. It’s shaken the foundations of our world. It threatens to tear at the fabric of international cooperation. But Covid-19 has also reminded us that for all our differences, we are one human race, and we are stronger together".


Ps: tulisan ini kami buat dalam rangka lomba Nulis dari Rumah yang diadakan oleh Kemenparekraf pada bulan Juni 2020. Setelah masa lomba berakhir, tulisan ini kami naikkan di blog kami masing- masing.

Yusi Nurcahya

Komentar

  1. terasa panjangnya kalau dibaca ya. padahal pas nulisnya enteng bener banyak yang dihapus2in karena hampir mentok ketentuan hahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. kebayang kalo g dibatasi karakter mau sampai kaya gimana ya sis hahaha

      Hapus

Posting Komentar