Oleh: Yusi Nurcahya Dewi dan Hanna Suryadika
World Health Organization (WHO)
pertama kali mendapat laporan adanya kasus pneumonia di Wuhan, China
pada 31 Desember 2019. Penyakit tersebut yang dibawa oleh virus kemudian
mulai mewabah pada 30 Januari 2020, tepat 1 bulan setelah dilaporkan
China. Hingga 1 bulan kemudian, WHO resmi memberi nama virus ini sebagai
Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 per tanggal 11 Februari 2020.
Di
bulan berikutnya, Indonesia kemudian mengumumkan kehadiran virus ini.
Sejak pertama kali diumumkan secara resmi oleh Presiden didampingi
Menteri Kesehatan tanggal 2 Maret 2020 pada waktu siang hari tentang
kasus pertama Covid-19 di Indonesia di depan sejumlah awak media istana,
berita pun kemudian menyebar pesat sehingga kemudian tampak pemandangan
yang tidak biasanya di supermarket: ramai seperti menjelang hari raya
Idul Fitri. Sembako, sabun cuci tangan, masker, handsanitizer, vitamin,
bahkan mie instan diburu pengunjung. Di berbagai rak-rak supermarket,
tidak nampak sisa dagangan yang disajikan: daging ayam, ikan,
sayur-mayur dan buah lokal ludes. Bahkan sayuran hidroponik yang jarang
dilirik akibat mahalnya harga, waktu itu ludes, tinggal air dan
paralonnya saja yang tersisa. Orang-orang membeli beras bertumpuk-tumpuk
dengan alasan untuk stok
pangan
di rumah. Bahan makanan pengganti seperti roti dan sereal juga banyak
diborong. Kepanikan semula memang sudah terpotret jelas di masyarakat.
Semua orang panik mendengar kasus Covid-19 yang “akhirnya” masuk ke
negara ini.
Di
belahan dunia lain juga tak jauh berbeda, orang-orang di Amerika
Serikat dan Australia berbondong-bondong memburu tisu toilet hingga
menjadi salah satu barang langka selama beberapa minggu di kedua lokasi
tersebut. Orang-orang berbelanja seolah tidak ada hari esok. Namun
rupanya jika ditilik lebih jauh lagi, ada golongan masyarakat yang juga
tidak rakus memburu bahan makanan, ada kaum tanggung hingga kelas
menengah ke bawah yang masih kuat beli bahan makan tapi tidak kuat untuk
menyetok banyak karena budget pas- pasan, merasa termarjinalkan. Dalam
situasi panic buying seperti ini, mereka merupakan lapisan yang
sangat terdampak sebab akan kehabisan bahan pokok sedang jika ingin
memakai bahan makanan pengganti, biasanya harganya mahal, melebihi
anggaran kebutuhan mereka. Akibat virus ini, dapat terlihat kekhawatiran
berbeda dalam setiap orang yang mungkin sebelumnya tidak pernah
terjadi.
Masa yang Berbeda
Kemudian
sampailah hari di mana hingga sebagian kantor meminta para pegawainya
untuk mengerjakan segala pekerjaan dari rumah, mulai dari instansi
pemerintah, BUMN, startup kelas besar hingga yang baru merintis usaha,
perusahaan swasta, hingga usaha-usaha kelas rumahan atau UMKM serta
sektor akademik yang harus mengubah kegiatan belajar mengajar dari tatap
muka menjadi daring, dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.
Rantai penularan bisa diputus dengan tidak adanya massa dalam jumlah
yang besar berkumpul. Dalam hal ini, interaksi sosial masyarakat
terpaksa dibatasi, bahkan diubah. Tentu hal ini menemui kesulitan dalam
pelaksanaannya oleh sebab ini merupakan hal baru yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Terlebih kalau diamati, karakter masyarakat
Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat menengah, mempunyai
karakter gemar berinteraksi sosial.
Bak
efek domino, pandemi tentu membawa kabar buruk selain mengancam
kesehatan. Mulai dari kaum kelas menengah ke bawah hingga para pekerja
sektor informal adalah golongan yang terdampak paling besar dari krisis
semasa pandemi Covid-19 ini merebak. Imbas dari peraturan untuk bekerja
di rumah tentu saja dialami kelas menengah ke bawah secara materiil.
Ekonomi melemah karena banyak sendi-sendi ekonomi yang terkunci dan
tidak dapat beroperasi normal sehingga dampaknya PHK massal, pekerja
sektor informal dan buruh harian terdampak paling parah. Meski cukup
terguncang dengan dinamika yang timbul akibat pandemi, kaum menengah
yang tanggung ini patut masih bersyukur karena disadari bahwa masih
banyak orang lainnya tidak seberuntung itu di tengah tidak menentunya
kondisi pandemi.
Sebagai
contoh, sektor pariwisata adalah salah satu yang terdampak pertama
kali. Pariwisata lumpuh seiring mulai digencarkannya imbauan untuk tidak
bepergian dari pemerintah di seluruh dunia. Hingga awal Maret misalnya
saja di Bali, hotel dan jalanan sudah mulai sepi. Turis banyak yang
membatalkan kedatangannya. Dengan tidak adanya turis dan pengunjung,
jaringan hotel seakan mati segan hidup tak mau. Bali menjerit seperti
kota mati, bahkan di Kuta jalanan sepi, pantai seperti tak ada
peminatnya. Jumlah mobil dan motor yang melintas dapat dihitung,
kemacetan yang biasanya membuat sempit jalanan di Kuta jadi lengang.
Kuta di awal pandemi masuk ke Indonesia seakan lebih awal menjemput
malam, sunyi dan gelap terasa datang lebih cepat. Demikian pula dengan
kota lainnya di Indonesia yang hidup dari sektor pariwisata mungkin kini
harus lebih mengencangkan ikat pinggangnya.
Namun
demikian, pandemi ini tidak hanya membawa permasalahan dari sisi
ekonomi saja, sisi lain yang jelas terdampak di seluruh kalangan
masyarakat adalah sisi psikologis masyarakat. Boleh dibilang, terlepas
dari sebagaimana baik setiap orang dalam mengelola kondisi psikis
mereka, seluruh lapisan masyarakat akan mengalami dampak ini. Tetapi,
ada klasterisasi masyarakat berbanding lurus dengan kondisi psikis yang
dialami. Masyarakat dari kalangan atas, barangkali akan dapat
menyesuaikan diri dengan cepat terhadap seluruh pembatasan interaksi
sosial. Mereka akan dengan mudah mengubah metode interaksi sosial secara
langsung menjadi virtual. Dilema yang besar justru akan dirasakan oleh
kalangan masyarakat menengah. Masyarakat menghadapi sebuah keterbatasan
besar untuk dapat mengubah metode tersebut. Fasilitas virtual yang sarat
akan kecepatan teknologi membutuhkan biaya tidak murah. Hal ini bisa
menjadi sebuah kebutuhan tersier bagi kalangan masyarakat
menengah-bawah. Sedangkan dalam masa pandemi ini, tuntutan kebutuhan
akan sangat terfokus pada kebutuhan pokok sehari-hari. Oleh sebab
mengalami keterbatasan dalam mewujudkan interaksi sosial secara virtual,
sebagian dari masyarakat menengah kontra terhadap imbauan dari
pemerintah untuk mengerjakan segala hal dari rumah. Kecemasan akan
semakin bertambah seiring dengan tidak ada yang dapat menjamin atau
memprediksi berakhirnya masa pandemi ini.
Sebagai gambaran, masyarakat middle-class
yang bekerja sebagai buruh biasanya bertemu rekan sejawat di bekeja,
kali ini dalam 24 jam hanya akan bertemu dengan keluarga baik itu orang
tua, anak, pasangan suami/istri yang juga harus didampingi penuh dari
rumah. Meskipun sama-sama mendapat tekanan, tetapi di saat bekerja
setidaknya kami bisa melampiaskan tekanan tersebut dengan bergurau
bersama rekan kerja di dekat mesin fotokopi atau sembari menikmati makan
siang bersama di jam istirahat. Hanya saja kenyataannya di sosial media
mulai didapati setelah 2 bulan lebih di rumah saja, banyak orang yang
mengeluh tidak tahan jika harus 24 jam terus menerus bersama keluarga
yang dikasihinya. Betul memang keluarga adalah harta yang paling
berharga, tempat pulang ternyaman. Namun jika bertemu terus menerus 24
jam tanpa putus, rupanya muncul istilah baru yang menjadi guyonan baru
ala milenial yakni: “Keluargaku, Surgaku, Pecah Kepalaku”.
Sektor Esensial
Dalam
kondisi pandemi seperti ini, faktor ekonomi adalah salah satu sisi yang
tergerus secara nyata dan tentu hal ini cukup berdampak bagi kehidupan
banyak orang. Dari klasifikasi kalangan masyarakat tersebut, terdapat
kalangan rentan yang terpaksa tetap menghadapi risiko besar untuk
terpapar atau memaparkan virus ini. Sektor esensial merupakan istilah
yang digunakan pemerintah untuk mengatur jalannya pembatasan sosial di
masyarakat. Betul memang terjadi kegiatan pembatasan sosial, namun
demikian kehidupan masyarakat harus tetap berlangsung. Sektor yang harus
memastikan kebutuhan masyarakat berlangsung inilah yang disebut dengan
sektor esensial dalam masa pandemi ini.
Sektor
esensial akan berusaha memenuhi demand kebutuhan pokok selama pandemi.
Itu artinya, sektor ini tidak bisa melakukan pekerjaan dari rumah. Hanya
saja, regulasi mereka diatur menggunakan protokol kesehatan pencegahan
Covid-19. Bekerja dengan memakai masker, rajin cuci tangan selama di
kantor atau saat bertugas, juga jaga jarak dengan rekan kerja tetap
dilakukan. Orang-orang yang bekerja di sektor ini adalah salah satu
contoh orang-orang yang melakukan pertarungan masa kini. Dapat
dibayangkan seperti pengemudi ojek online, atau mereka yang bekerja
dengan berdagang keliling setiap harinya, atau seperti buruh pabrik
kebutuhan pokok dan kesehatan yang diupah harian maka mau tidak mau
menganggap pandemi ini lebih dari sekadar masalah kesehatan tapi juga
perihal hidup mereka.
Pelaksanaan Pembatasan Sosial
Berbagai
cara, kebijakan, maupun strategi dijalankan untuk melawan Covid-19.
Mulai dari masyarakat sipil, tenaga kesehatan, pemerintah, maupun TNI/
Polri dikerahkan untuk memerangi musuh yang tak kasat mata ini. Semakin
tak terlihat musuhnya, peperangan ini - jika tak mau dibilang sulit-
semakin terasa tantangannya. Oleh karena itu, tidak heran masih banyak
masyarakat yang terlihat menyepelekan kehadiran virus ini. Masih banyak
masyarakat yang mengabaikan imbauan untuk tetap di rumah saja dan
menjaga jarak. Mungkin pikirnya virus ini tak ada di sekelilingnya
karena masih belum ada orang di sekitarnya yang terjangkit. Meski
demikian, sayangnya Covid-19 adalah jenis virus yang tidak mengenal
status sosial, kemampuan ekonomi, atau hal-hal duniawi lainnya karena
siapa saja dengan mudahnya terjangkit atau menjadi pembawa virus.
Pemerintah
sampai saat ini masih diharapkan untuk bisa menyelamatkan rakyat dari
bahaya wabah yang berkepanjangan. Di tengah berbagai macam kebijakan
yang dinamis seakan berpacu berkejaran dengan waktu dan keselamatan
rakyat, pemerintah Indonesia dari segala lini mengeluarkan
kebijakan-kebijakan strategis. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB), pemberian bantuan sosial tunai dan Bantuan Langsung Tunai
Dana Desa, pengucuran insentif Rp405,1 Triliun, hingga larangan mudik
yang sudah digencarkan sejak bulan lalu. Tujuan utama dari pemberian
bantuan maupun insentif ini adalah sebagai obat pelipur lara dari
pemerintah untuk masyarakat pra sejahtera yang kehilangan pekerjaannya
atau kehilangan kesempatan bekerja selama masa pandemi.
Masyarakat
yakin bahwa negara akan mampu melewati masa sulit ini. Masyarakat
kemudian meningkatkan solidaritasnya dengan sesama melalui gerakan
gotong royong. Seluruh elemen masyarakat terlibat dalam gerakan ini
dengan berbagai macam kontribusi yang diberikan. Salah satu poin positif
yang dapat kita lihat di balik musibah ini yakni meningkat inisiatif
dari masyarakat yang tergerak untuk membantu sesamanya. Mari tengok dari
sejumlah e-flyer donasi yang memenuhi linimasa mengajak banyak orang
untuk menyumbang mulai dari Alat Pelindung Diri (APD), uang, makanan dan
sembako, hingga menggalang dana dengan bentuk konser musik dari rumah
seperti yang dilakukan oleh Narasi yang berhasil mengumpulkan donasi sebanyak Rp13.000.000.000.
Tidak
hanya solidaritas yang pendistribusian bantuannya dikelola secara
mandiri oleh masyarakat, berbagai bantuan disalurkan melalui BNPB juga
dibagikan secara langsung kepada masyarakat rentan. Komunitas saling
tergerak untuk menghimpun bantuan dan menyalurkannya. Masyarakat saling
berperan untuk melindungi kalangan rentan yang terdampak ekonomi akibat
pandemi ini. Solidaritas ini tidak langsung terhenti begitu bantuan
disalurkan seluruhnya, melainkan kontinu. Dari kontinuitas ini kemudian
timbul sebuah pertanyaan besar tentang seberapa lamanya masyarakat akan
menghadapi situasi seperti ini. Dengan kebijakan yang tepat sasaran,
masyarakat diminta untuk tetap mematuhi apa yang telah dijadikan
peraturan oleh pemerintah, situasi ini diharapkan akan segera berlalu.
Selain
itu, pemerintah juga telah berupaya untuk memberikan pencegahan
terhadap mobilisasi masyarakat dalam lingkup yang besar. Berdasarkan
data yang dilansir dari Google Covid-19 Community Mobility Reports
hingga 9 Mei di Indonesia secara total jumlah orang yang bepergian ke
tempat transportasi publik seperti terminal dan stasiun turun 59% dan
yang ke taman umum menurun hingga 52% dibandingkan periode 3 Januari-6
Februari atau masa sebelum badai pandemi memasuki Indonesia. Meski
demikian menurunnya angka orang yang bepergian di luar rumah masih belum
diiringi dengan keberhasilan melandaikan kurva penyebaran Covid-19.
Di
Indonesia, DKI Jakarta adalah provinsi pertama yang menyatakan untuk
karantina wilayah atau yang kini populer disebut Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB). PSBB di Jakarta resmi dimulai sejak 10 April 2020
yang disahkan lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020
yang kemudian diperpanjang secara bertahap hingga hari ini. Provinsi
lain pun mulai menyusul, dimulai dari Bogor, Depok, Bekasi yang menjadi
aglomerasi Jakarta hingga akhirnya satu Provinsi Jawa Barat dinyatakan
memberlakukan PSBB.
Hingga
hari ke 62 sejak diumumkannya kasus 01 Covid-19 di Indonesia, sudah
lebih dari 17.500 orang dinyatakan positif Covid-19 dan 4.129 orang
berhasil sembuh. Sudah 23% penyintas Covid-19 yang dinyatakan sembuh,
apakah angka ini cukup menggembirakan? Lantas apakah strategi yang
ditempuh hingga hari ini sudah cukup jitu untuk menghentikan penularan
Covid-19?
Penambahan
kasus yang fluktuatif di angka ratusan (per 17 Mei 2020) tampaknya
tidak juga membuat jera masyarakat untuk tetap menahan diri tidak
melakukan aktivitas di luar rumah. Mendekati hari-hari menjelang Idul
Fitri, bahkan Korlantas Polri dan Jasa Marga
mencatat sebanyak 367.703 kendaraan meninggalkan Jakarta pada periode
17-21 Mei 2020. Meski besaran angka tersebut dinyatakan turun 61%
dibandingkan periode yang sama pada periode Lebaran tahun 2019 lalu, ini
adalah angka yang cukup fantastis mengingat larangan mudik sudah
jauh-jauh hari digencarkan oleh berbagai institusi.
Indonesia
telah melewati berbagai jenis kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah
juga anjuran yang digaungkan oleh World Health Organization (WHO).
Mulai dari awalnya ketika WHO menganjurkan bahwa Covid-19 dapat dicegah
dengan rajin mencuci tangan dengan sabun, menjaga hidup bersih dan
sehat, hingga yang paling populer baru-baru ini yaitu menggunakan
masker.
Kesalahpahaman Konsep Aktivitas Esensial
Hari
demi hari masyarakat tentu menerima kabar terbaru jumlah pasien yang
menderita virus ini. Jumlahnya tentu semakin hari semakin naik. Apalagi
virus ini mempunyai masa infeksi yang cukup lama, yaitu selama 14 hari
bahkan lebih. Namun demikian, masyarakat bukannya semakin meningkatkan
keketatan untuk karantina mandiri, masing-masing dari lapisan masyarakat
malah memberikan kelonggaran untuk melakukan aktivitas di luar rumah.
Jalan-jalan mulai terlihat ramai oleh orang-orang yang ternyata tidak
hanya melakukan kegiatan esensial seperti membeli bahan pokok atau
obat-obatan. Banyak di antara mereka melakukan kegiatan yang sebenarnya
tidak terlalu pokok tetapi lama-kelamaan menjadi pokok karena tuntutan
keadaan yang semakin lama semakin membuat tekanan yang besar di banyak
lapisan masyarakat, termasuk kaum menengah ini. Sebagian besar dari
mereka terpaksa melakukan aktivitas tersebut dengan interaksi yang
canggung satu sama lain. Sebagai kaum yang tanggung dari segala sisi,
tentu saja kelas menengah hanya bisa menyimak keadaan sekitar sebab tak
seberapa bernyali untuk ikut serta bergabung dalam hiruk pikuk yang
canggung itu. Pada suatu kesempatan ada saatnya harus datang
menyelesaikan tugas di tempat kerja, dengan menempuh perjalanan dari
rumah ke tempat kerja dan mendapati fakta bahwa banyak saudara yang
memang harus bekerja demi memenuhi kebutuhan utama. Sepanjang ruas jalur
tambang pasir dari Gunung Merapi, masih terlihat para awak truk bekerja
dan berkumpul dengan komunitasnya seperti sedia kala. Saat itu,
kendaraan berjalan pelan beriringan dengan sebuah truk pengangkut pasir.
Sebuah truk tua yang pada awalnya tidak terlalu menarik perhatian.
Setelah diamati, di belakang bak truk tersebut terdapat kutipan kalimat
yang digores dengan menggunakan cat yang masih terlihat baru
bertuliskan: nuruti korona, ra mangan yang mempunyai arti: menuruti
virus corona, tidak bisa makan. Tulisan itu bahkan masih baru, catnya
masih menyala. Tentu tulisan tersebut tidak lahir secara cuma-cuma.
Tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok tentu menjadi latar belakang utama
dalam penyampaian pesan tersebut. Saat pandemi, memang disadari bahwa
sebenarnya pengembangan infrastruktur tidak dinilai sebagai aktivitas di
sektor yang esensial. Pada akhirnya tuntutan kebutuhan yang menjadikan
mereka mempunyai esensi.
Seiring
berjalannya waktu, ada oknum masyarakat yang mengalami gejolak psikis
seperti telah dipaparkan sebelumnya, tampaknya mulai menggunakan celah
aktivitas yang dilakukan oleh sektor esensial untuk memenuhi hasrat
berinteraksi sosial mereka. Mereka ada yang secara sengaja menggunakan
celah ini untuk melanggar imbauan pembatasan sosial. Namun ada juga
mereka yang ternyata secara tidak sengaja melakukan aktivitas ini karena
terdampak secara ekonomi. Hal ini mengakibatkan aktivitas masyarakat
yang semula terasa sepi menjadi berangsur-angsur kembali seperti semula,
seolah tidak ada pandemi atau adanya anggapan bahwa pandemi ini bukan
sesuatu hal yang mengancam diri mereka.
Puncaknya
adalah ketika momen menjelang hari raya Idul Fitri. Dari berbagai media
daring, masyarakat terpantau melakukan aktivitas tanpa mengindahkan
imbauan pembatasan sosial. Ternyata, budaya konsumtif menjelang hari
raya merupakan suatu hal yang menjadi sebuah hal yang meleset dari skema
pembatasan sosial yang diimbau untuk masyarakat. Memang, tidak semua
dari mereka yang melakukan aktivitas berbelanja tersebut adalah
masyarakat yang melakukan belanja kebutuhan barang tersier, justru yang
mereka melakukan belanja untuk memenuhi kebutuhan hari raya yang mereka
prediksi sendiri akan meningkat karena adanya kedatangan sanak saudara
yang berkunjung. Sebagian mereka barangkali juga hanya melakukan belanja
kebutuhan pokok lebih banyak dari biasanya dan untuk keluarga mereka
saja sebagai bentuk kegembiraan karena telah melalui bulan Ramadan
dengan baik. Namun bagaimanapun alasannya, seyogyanya aktivitas tersebut
tidak dilakukan di tengah pandemi ini. Sebab ternyata prediksi
masyarakat agaknya juga keliru. Silaturahmi yang biasanya dilakukan saat
hari raya, sekarang benar-benar dibatasi. Regulasi ini justru diatur di
tingkat Rukun Tetangga (RT). Berita dari media rupanya menyebar luas
dan membuat kekhawatiran akan adanya klaster penularan di pusat
berbelanjaan dan akan semakin memburuk jika ada penyebaran melalui
kegiatan silaturahmi. Maka di tingkat RT, memperketat aturan kunjungan.
Para warga diimbau melakukan gerakan tutup pintu. Tidak ada sanksi hukum
jika warga melakukan pelanggaran. Sanksi sosial dinilai efektif untuk
memperketat aturan tersebut.
Sampai Kapan?
Banyak pakar yang memprediksi kapan berakhirnya pandemi ini di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
mengumumkan darurat bencana non-alam sampai tanggal 29 Mei 2020.
Mengutip prediksi Mark Woolhouse, seorang profesor epidemiologi dan
penyakit menular dari University of Edinburgh di BBC News
bahwa ada 3 cara untuk keluar dari masalah ini yaitu vaksin, kekebalan
kelompok, dan perubahan perilaku permanen. Jika menunggu vaksin, maka
waktu tercepat untuk dapat diberikan ke pasien adalah 12-18 bulan jika
tak ada halangan. Sementara menunggu kekebalan kelompok atau yang akrab
disebut herd immunity sangat sulit mengingat akan banyak orang yang
terinfeksi. Dengan menanti sistem kekebalan kelompok ini muncul maka
minimal waktu yang dibutuhkan adalah lebih dari 2 tahun. Opsi yang
ketiga yakni perubahan permanen pada perilaku kita yang mencegah
transmisi penularan virus. Gaya hidup baru maupun rapid test
besar-besaran, serta isolasi pasien yang positif sesegera mungkin.
Dengan cara ini, butuh lebih banyak waktu. Tidak ada batas waktu yang
jelas jika Indonesia memilih cara ketiga, cara yang tidak sulit
diterapkan namun juga tidak tergolong strategi yang jitu. Hingga saat
ini nampaknya pemerintah masih bekerja keras untuk menentukan cara ampuh
mana yang akan ditempuh. Namun demikian, dalam waktu dekat pemerintah
akan menerapkan perubahan perilaku, meski belum tentu permanen, konsep
ini kemudian familiar dengan nama New Normal.
Penutup
Pertarungan
melawan Covid-19 adalah pertarungan jangka panjang. Hingga hari ini
belum ada satu orang pun yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
Tugas kita selanjutnya adalah bertahan hidup dengan sebaik-baiknya dan
saling menjaga satu sama lain untuk seterusnya hingga pandemi
benar-benar berakhir. Mengutip kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, “Covid- 19 has robbed us of people we love. It’s robbed us of lives and livelihoods. It’s shaken the foundations of our world. It threatens to tear at the fabric of international cooperation. But Covid-19 has also reminded us that for all our differences, we are one human race, and we are stronger together".
Ps:
tulisan ini kami buat dalam rangka lomba Nulis dari Rumah yang diadakan
oleh Kemenparekraf pada bulan Juni 2020. Setelah masa lomba berakhir,
tulisan ini kami naikkan di blog kami masing- masing.
terasa panjangnya kalau dibaca ya. padahal pas nulisnya enteng bener banyak yang dihapus2in karena hampir mentok ketentuan hahaa
BalasHapuskebayang kalo g dibatasi karakter mau sampai kaya gimana ya sis hahaha
Hapus