Kaum Gembredeg

Hai, aku mau menuliskan pengalaman ini sebab aku sudah tidak tahan dengan segala keluh kesah yang dilontarkan teman-teman karena kos yang selalu banjir sebab saluran air kurang lancar. Sejujurnya bukannya selalu banjir, tetapi sudah 3 kali ini kos banjir. Yang pertama terjadi ketika hari selasa bulan oktober dan aku lupa tanggalnya. Waktu itu aku pulang kuliah tepat pada saat adzan magrib. Hujan deras baru saja usai. Aku mendapati kamarku yang seperti kolam lele dan aku juga mendapati kakakku yang membersihkan kamar susah payah. Tragedi ini merugikanku tentu saja sebab buku perpustakaan yang kupinjam basah semua dan buku-buku lain yang terpaksa kubuang. Tragedi yang kedua kuceritakan nanti. Sedang tragedi yang ketiga baru saja terjadi. Lantai bawah sudah seperti empang lele ketika aku keluaar kamar usai mengerjakan tugas hari ini (rabu, bulan desember). Saluran air di lantai bawah jebol. Penduduknya geger gonjang ganjing. Mereka itu, memandang empang tersebut seperti menyaksikan perang Baratayudha di Kurukhsetra. Heboh bukan main. Namun perlu digarisbawahi bahwa tragedi ketiga ini tidak begitu ironi sebab banyak orang yang menggotong kesengsaraan di lantai bawah. Maksud dari kutulis certa ini adalah supaya teman-teman bersikap biasa saja ketika menghadapi banjir-banjir yang lain yang mungkin terjadi. Sebab aku lebih pernah merasakan banjir dengan perasaan tak tentu. Tragedi paling ironis adalah ketika banjir yang kedua. Begini ceritanya. Pada waktu itu hari sabtu dan aku masih tinggal di kos sebab malamnya aku akan menghadiri undangan resepsi pernikahan teman sekelas. Kakakku ketika itu memutuskan untuk pulang pada sabtu sore. Tinggallah aku sendirian. Jam empat aku telah siap dengan baju kebaya ala orang mau kondangan. Aku dan teman-teman sekelas lainnya berencana berangkat kondangan jam empat namun apadaya hujan lebat tiada terperai. Maka keberangkatan ditunda sampai hujan reda. 10 menit berlangsung dan hujan makin menjadi-jadi lebatnya. Tiada tanda-tanda akan reda dalam waktu 15 menit. Aku menunggu sambil mondar-mandir tidak jelas, kadang pegang hp, kadang mengecek saluran air, memandang tv (hanya memandang, tidak berani menyalakan sebab selain hujan deras dan petir tiada mau tersaingi oleh hujan). Akhirnya, setelah sekian lama entah telah berapa menit aku berlalu-lalang, aku mendapati saluran air di kamar mandi bawah yang hampir luber karena tidak sanggup lagi menampung air hujan yang begitu dahsyat. Aku yang pada saat itu berada di kos sendirian merasa bingung. Sambil memikirkan cara apa yang harus aku lakukan. Tiga detik menyadarkanku bahwa baju kebaya yang aku pakai jelas akan menghambat jalannya evakuasi. Selama tiga detik itu pula lantai bawah telah menjadi empang dangkal. Aku segera berganti kostum. Tidak, atasan kebayaku masih menempel sebab memang susah untuk melepas kancingnya satu persatu. Kututupi saja dengan jaket akhirnya. Aku keluar kos dan mencari bentuan kepada siapa saja kiranya lelaki yang berada di luar sementara hpku telah men-dial¬ nomer pengurus kos. Apadaya tak ada orang yang kurang kerjaan hingga hujan deras begini rela duduk-duduk santai di luar rumah. Aku memutuskan untuk mengetuk rumah warga. Ada anak laki-lakinya yang seusiaku muncul. Langsung kusambar dengan permintaan tolong : mas, tolong kos saya banjir. Anak laki-laki itu mengajak seorang temannya. Langsung mereka membantu melancarkan saluran air di kosku. Namun apadaya sebab memang saluran air itu terlalu kecil untuk menampung air hujan yang dahsyat. Empang dangkal seketika berubah menjadi empang dalam. Jam setengah enam dan hujan sudah mereda. Aku membantu membersihkan kamar anak bawah yang kena banjir yang pintunya berhasil dibuka paksa. Seorang teman menelfon. Menanyakan apakah aku jadi berangkat kondangan. Aku bahkan lupa bahwa dibalik jaketku aku masih memakai kebaya! O iya! Aku ada undangan kondangan. Aku bilang aku sedang membersihkan air empang dan nanti ia akan kuhubungi lagi. Empang melebar tanpa dikehendaki. Menambah lahan yang harus dibersihkan. Jaketku sudah basah kuyup. Hingga akhirnya hujan benar-benar telah mereda pada jam 6 sedang aku masih membantu pengurus kos (yang akhirnya datang) membersihkan air empang. Temanku menelfon lagi. Bukan lagi menanyakan jadi berangkat atau tidak, ia mengabarkan kalau rombongan telah berangkat. Akan mengulur waktu teralalu lama jika menungguku sebab memang hanya aku yang belum datang. Apa? Saat itu aku yang masih memakai kebaya dalam jaket dan berdandan ala orang kondangan merasa seperti putri duyung yang akan sekarat sebab air empang tinggal semata kaki.

Komentar