Dari Terminal Lawas sampai Gang Dolly

Candra Dyah Pembayun (selanjutnya disebut CDP) seolah mengingatkan kembali kepada para pembaca mengenai fenomena sosial di masyarakat yang sebenarnya keberadaannya telah ada sejak dulu. Ialah fenomena lokalisasi yang menjadi latar belakang ditulisnya cerita cekak (cerita pendek) Jam Sewelas ing Terminal Lawas ‘Jam Sebelas di Terminal Lama’. Banyaknya lokalisasi atau sektor industri jasa seks dewasa ini justru menjadikan kerisauan masyarakat sebab adanya degradasi moral bangsa, tidak banyak terliput dan diberitakan oleh media massa. CDP mengangkat tema sederhana tetapi khas. Khas dalam arti jarang dipakai oleh penulis lain, selain itu, adanya keterkaitan antara gambaran cerita dengan latar tempat dalam cerita. Pemberitaan mengenai hal lain seperti masalah kebijakan pemerintahan serta politik lebih menarik dibandingkan pemberitaan mengenai lokalisasi. Sesekali memang pemberitaan mengenai lokalisasi muncul. Itu pun jika menjelang bulan suci Ramadhan. Stasiun televisi seolah beramai-ramai menyiarkan penertiban yang terjadi di wilayah lokalisasi ataupun mengenai lokalisasi yang ‘tutup sementara’ menjelang bulan Ramadhan. Masalah Ekonomi Cerkak Jam Sewelas ing Terminal Lawas bercerita mengenai seorang mahasiswa (Ndaru) yang sedang melakukan perjalanan malam hari dari Pacitan, mungkin, menuju Surabaya untuk bertemu dosen pembimbing keesokan harinya. Namun, di tengah perjalanan, Ndaru memutuskan untuk mampir ke sebuah rumah, tempat dimana Ndaru tinggal pada waktu KKN dulu. Kedatangan Ndaru ke tempat tersebut bukan tanpa alasan. Dia ingin bertemu dengan seorang gadis bernama Narti. Kendati sudah tengah malam, keinginannya bertemu dengan gadis yang pernah menjadi pujaan hatinya itu tidak dapat dicegah. Akhirnya, dia mampir ke rumah Pak Brojo, tempat di mana dia dulu tinggal. Ketika dia sampai di rumah Pak Brojo, dia dikagetkan dengan kondisi Pak Brojo dan rumahnya yang memprihatinkan. Padahal dulu ketika dia tinggal di sana, rumah Pak Brojo sangat rapi dan tertata, demikian juga demgan kondisi fisik Pak Brojo yang sangat memprihatinkan. Istrinya, bu Tanti juga tidak terlihat di rumah, padahal sudah malam. Ndaru tidak berani menanyakan sebab takut kalau Pak Brojo tidak berkenan. Akhirnya ia sampai pada tujuannya yaitu menanyakan Narti. Sayang sekali pertanyaannya harus menuai kekecewaan. Pak Brojo mengatakan kalau Narti sudah menikah dengan seorang pria yang dipilih keluarganya. Dalam kekecewaannya itu, Ndaru meutuskan untuk segera pulang. Ia menuju terminal lama . Terminal lama kini telah menjelma sebagai tempat prostitusi. Lebih mengejutkannya lagi, ketika dia bertemu dengan bu Tanti yang sedang ‘mangkal’ di tempat tersebut. Apa yang menjadi pikiran Ndaru kini terjawab sudah. Cerita tersebut berlatar belakang masalah ekonomi yang dialami tokoh bu Tanti dan pak Brojo yang menyebabkan bu Tanti menjadi pekerja seks komersial demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka seperti bunyi hukum ekonomi dikatakan bahwa keinginan manusia sangat beragam dan tidak terbatas maka dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut manusia melakukan segala cara. Dalam masalah sosial, manusia untuk berkehidupan bermasyarakat ingin dipandang “layak” dalam berbagai hal terutama masalah pokok sandhang, pangan, papan. Untuk memenuhi keinginannya tersebut, manusia rela menembus batas-batas aturan yang ditetapkan oleh adat ataupun agama. Pada cerita tersebut jelaslah tokoh bu Tanti menembus batas nilai sosial dan agama. Seolah tidak peduli lagi akan nilai yng berlaku di masyarakat juga agama, tokoh bu Tanti hanya ingin sebuah kehidupan yang “layak”. Fenomena sosial seperti yang terjadi di wilayah lokalisasi bukan berarti boleh dipandang sebelah mata. Hal ini justru menjadi fenomena yang memerlukan perhatian khusus. Fenomena ini justru perlu ditilik kembali mengenai sebab-sebab yang dimiliki pelaku. Dalam cerkak Jam Sewelas ing Terminal Lawas, CDP membuat karakter tokoh Bu Tanti yang bekerja sebagai pekerja seks komersial. Dalam cerkak tersebut disebutkan dialog antara Bu Tanti dengan tokoh lain mengenai alasan mengapa tokoh tersebut mmemilih bekerja sebagai ‘wanita penghibur’. ‘”Wis setaun iki nak Ndaru, aku nglakoni nyambut gawe ngene iki. Bapakmu awake nganti entek anggone mikirake aku. Kuwatir yen nganti aku ora bali,”kandhane bu Tanti tanpa rasa sungkan. “Nanging rak tasih angsring mantuk ta, Bu?” Ndaru nggenahake. “Seben esuk aku bali, Mas. Dening bapakmu wis dicawise wedang kopi ing meja kamarku. Tenane aku dipenging nyambut gawe ngene iki. Yen aku ana omah ngono kae bapakmu mesthi mbudidaya ngalihake atiku. Malah nganti direwangi pasa senen kemis lan golek wong tuwa barang. Nanging kepriye maneh, jenenge wong nyambut gawe, golek butuh.” “Pak Brojo rak nggih tasih nyambut damel kados rumiyin tab u Tanti? Nalika kula KKN wonten mrika kala semanten anggenipun pak Brojo dados blantik sapi katingal lancar ngoten, kok.” “Iya mas wis ora kaya biyen, Mas, wis tuwek, tenagane wis suda akeh. Yen mung njagakake dheweke bae ora cukup.”’ Pada intinya tokoh bu Tanti mengungkapkan bahwa kebutuhan hidupnya tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan penghasilan dari suaminya yang bekerja sebagai blantik sapi . Masalah ekonomi dan sulitnya mendapatkan pekerjaan tetap menyebabkan tokoh Pak Brojo tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Dipandang dari segi kesetaraan gender, peran bu Tanti telah ditembusnya demi keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peran pak Brojo sebagai suami sudah tidak dihiraukannya lagi sebab pak Brojo tidak lagi dapat mencukupi kebutuhannya. Sosial Budaya Fenomena tersebut bukan hanya terdapat pada cerita saja. Sebab darimana CDP mendapat inspirasi jika bukan dari melihat secara langsung fenomena sosial seperti itu. Cerita tersebut berlatar tempat di dekat Surabaya. Sejauh ini, masalah lokalisasi memang masih menjadi polemik di dalam masyarakat. Apalagi dalam wilayah Surabaya terkenal dengan wilayah lokalisasi Gang Dolly yang telah dilegalkan serta mendapat status wilayah lokalisasi terbesar di Asia sehingga membuatnya lebih mencolok daripada wilayah lokalisasi lainnya. Bekerja di wilayah lokalisasi seolah menjadi tren bagi kaum yang terlilit masalah ekonomi. Perhatian dari semua pihak masyarakat serta pemerintah dalam upaya minimalisasi wilayah lokalisasi di negara ini sangat diperlukan. Sebab jika tidak, tren ini akan semakin marak dan menyebabkan masalah degradasi moral bangsa semakin keruh. Pendekatan budaya terhadap pelaku-pelaku di wilayah lokalisasi perlu dilakukan. Walaupun kini, wacana pemerintah kota menarget penutupan beberapa wilayah lokalisasi di Jawa Timur , hal ini mustahil akan terlaksana tanpa dukungan dari seluruh elemen masyarakat setempat. Selanjutnya mengenai status serta lapangan pekerjaan bagi sejumlah pekerja seks komersial, pemerintah akan memberikan modal bagi mereka serta pemulangan secara tertib ke kampong halaman masing-masing . Surakarta, Desember 2012 Yusi Nurcahya Dewi

Komentar