Minat Menulis Mahasiswa (3M)

3M Minat Menulis Mahasiswa Menulis merupakan hal yang akrab sekali dengan dunia akademik. Sebagai seorang akademisi seharusnya kita sudah terbiasa dengan hal tulis-menulis. Menulis dapat diartikan sebagai aplikasi dari apa yang diperoleh dari proses membaca dan mengamati. Sebuah definisi yang relevan dalam konteks ini, diutarakan oleh seorang novelis kenamaan, bahwa menulis merupakan konsep berbahasa yang di dalamnya akan terjadi proses berpikir dan pada akhirnya dari serangkaian proses tersebut akan menentukan sikap seseorang. Dengan demikian menulis sama dengan bersikap (Ayu Utami dalam Diskusi 7 Langkah Menulis, 27 Desember 2012). Di dalam proses menulis itu sendiri, kita tentu tidak boleh melupakan hal sederhana namun mendasar yaitu tujuan. Tujuan penulisan sangat beragam, bergantung dari sudut pandang mana kita berada. Dalam dunia akademik, tujuan penulisan ada baiknya linier dengan disiplin ilmu masing-masing. Kendati demikian, bukan berarti penulisan yang bersifat multidisplin ilmu tidak diperbolehkan. Tentu saja tidak demikian. Hal ini hanya saja menjadi sebuah tahapan yang perlu dilalui oleh seorang penulis. Sejak dari sekolah dasar hingga sekarang bahkan kita telah dilatih tulis-menulis. Mulai dari konsep yang sederhana sampai konsep yang lebih kompleks. Sebagai seorang mahasiswa, budaya menulis, sekali lagi, seharusnya sudah melekat dalam benak kita. Tugas-tugas kuliah yang tidak dapat lepas dari kegiatan penulisan (artikel, esai, paper, features dll) seharusnya dapat membentuk sikap kita menjadi lebih baik dalam mengutarakan pendapat, juga untuk menghadapi suatu permasalahan. Akan tetapi, dewasa ini, pernyataan tersebut seolah berbanding terbalik. Berdasarkan jajak pendapat yang saya lakukan terhadap beberapa orang teman mahasiswa (Jajak pendapat dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa) , mendapati sebuah kenyataan bahwa penulisan semakin jauh saja keberadaannya di kalangan mahasiswa. Bagaimana tidak? Kebanyakan jajak pendapat menyebutkan bahwa menulis merupakan hal yang sulit dan hal yang akan dilakukan ketika ada sebuah keharusan. Misalnya saja untuk menyusun sebuah tugas kuliah, barulah mereka akan menulis. Keterpaksaan sebagian dari mereka membawa pada hal lain yang lebih ironis: plagiarism. Memang tidak ada yang bisa menjamin bahwa sebuah karya tulis akademik pasti bermutu unggul (Berani Menulis Artikel, 2008, hal.130 ) . Mahasiswa yang dituntut untuk menentukan sikapnya sendiri dalam sebuah kasus permasalahan, sering menyalahgunakan dalam bentuk plagiarism. Hal ini kiranya sudah menjadi rahasia umum bagi sebagian mahasiswa. Terbukti dari jumlah plagiarism yang bukanya berkurang akan tetapi malah bertambah kian waktu. Selama hal ini tidak terespos dan mendapat tindak lanjut, mahasiswa akan terus menikmatinya. Kegiatan ini akan sangat menyimpang dari harapan untuk menjadikan mahasiswa mampu bersikap terhadap suatu permasalahan. Sesungguhnya kegiatan menulis dapat dilatih dengan cara membuka wawasan kita melalui banyak sarana: membaca dan berdiskusi, misalnya. Masih berdasarkan hasil jajak pendapat, kebanyakan dari narasumber mengatakan bahwa mereka enggan untuk menulis dikarenakan sulit untuk mendapatkan ide. Ide memang merupakan hal yang tidak kalah penting dari segala aspek penulisan. Ide sebenarnya dapat mudah diperoleh dari banyaknya wawasan yang dimiliki. Selain ide, alasan lain yang menjadikan minat menulis mereka rendah adalah masalah perbendaharaan kata. Para penulis muda, yang belum banyak pengalaman menulis, memang sering berada dalam belenggu perbendaharaan kata. Sama halnya dengan ide, pengayaan perbendaharaan kata pun dapat diperoleh melalui pembukaan wawasan melalui berbagai medium seperti yang telah disebutkan. Tidak jauh berbeda dengan ide dan perbendaharaan kata, kebiasaan menulis menjadi hal yang tidak kalah penting. Jika ide dan pengayaan kata telah terpenuhi, ada baiknya seorang calon penulis segera menuangkan gagasannya melalui tulisan. Perkenankan saya mengambil kesimpulan kecil bahwa ketiga hal tersebut mempunyai sistem kerja yang sama dengan otot. Otot yang kuat sebab terbiasa dilatih untuk mengangkat beban, demikian juga dengan ketiga hal tersebut. Jadi sebetulnya, setelah ditelisik lebih mendalam, seharusnya tidak ada hal penghambat lagi bagi seorang mahasiswa, khusunya, untuk menulis tanpa bumbu plagiarism. Namun perlu digarisbawahi, bahwa tidak semua minat mahasiswa berada pada stadium rendah dalam hal penulisan. Ada juga mahasiswa yang minat menulisnya berada dalam stadium tinggi. Hanya saja persentasenya barangkali lebih kecil daripada yang minatnya rendah. Akan tetapi hal yang terpenting adalah sinergisitas dari kedua elemen mahasiswa tersebut. Dari eleman mahasiswa yang berminat tinggi dalam hal penulisan yang harus menularkan minat penulisannya kepada elemen mahasiswa yang minat penulisannya masih rendah. Selain itu perlu adanya kemauan juga dari eleman mahasiswa yang minatnya masih rendah dalam penulisan untuk senantiasa menambah wawasan melalui pelbagai medium untuk ilmu yang lebih banyak. Akhirnya, sedikit uraian ini semoga bermanfaat dan menjadi koreksi bersama. Surakarta, 28 Desember 2012 Yusi Nurcahya Dewi

Komentar

Posting Komentar