Nenek dan Cucu

Menurutku, manfaat bepergian itu ya salah satunya dapat mengasah intuisi kita terhadap suatu hal. Kalau kita ndak sibuk mainan hp, banyak hal yang bisa diperhatikan supaya kita ini makin mengenal kehidupan sosial yang beraneka rupa ini. 


Cerita kali ini aku dapatkan ketika aku dan salah seorang teman mampir minum teh di sebuah warung kecil dekat gerbang pendakian Gunung Merbabu (kami ndak mendaki lho, hanya main ke gerbang pendakiannya aja, haha). Warung itu dimiliki oleh seorang nenek yang kira-kira usianya tujuh puluhan. Sudah tua, tapi bicaranya masih sangat jelas. Seperti biasa, aku iseng mengajukan pertanyaan padanya. Kutanya siapa yang mengantarnya saat pagi untuk membuka warungnya dan menjemputnya saat ia sudah mau pulang. Sambil memanaskan minyak beku beserta plastik pembungkusnya ke dalam wajan panas, Nenek itu bilang kalau pagi diantar anaknya dan kalau sore akan dijemput cucunya. Cucunya sekarang ini kelas dua SMP. SMP-nya di kota yang jarak tempuhnya dari sini jauh itu lho. So Wow! kalau benar begitu, dapat aku nilai kalau cucunya ini sangat patuh dan berbakti sekali kepada orang tua. Aku sendiripun nampaknya bakal ogah-ogahan kalau disuruh begitu. Yaa...nampaknya aku ini orangnya terlalu sering generalize sesuatu. Awalnya kupikir ndak mungkin rasanya Si Cucu serajin itu. Jemput nenek tiap hari lho ini! Jaman sekarang gitu? Kan, anak jaman sekarang ini kebanyakan sudah anti-sosial gitu karena kebanyakan menikmati produk elektronik seperti PS, HP, Laptop, dan TV mungkin. Tapi si nenek ini sangat yakin, kalau cucunya itu akan datang setiap sore buat menjemputnya. 

Tapi yah, manusia sepertiku ini ternyata memang gampang berprasangka, haha. 

Lima menit berselang setelah percakapan kami akhiri, datang seorang yang mengendarai sepeda motor. Pakai sepatu k-zoot dan tas ransel warna hitam. Celana putih yang dikenakan orang ini nampaknya juga merupakan seragam sekolah. Nah, itu ternyata cucu si nenek! Yang masih kelas dua SMP tapi sudah fasih mengendarai motor buat menjemput neneknya. Si Nenek menyambut cucunya yang ternyata juga membawakan beberapa barang dagangan di warungnya itu seperti gula, minyak dan satu box air mineral kemasan. 

Si Cucu ini mau langsung pamit, tapi Si Nenek melarangnya dan menyuruhnya untuk istirahat dulu. Si Cucu mengeluhkan kalau agak capek sebenarnya tapi ada hal yang harus dikerjakan di rumah. Bukan belajar namun mencuci sepatu. Si Nenek menawarkan mau mijitin, tapi Si Cucu ndak mau. Dari nada bicara Si Cucu ini, tak kudengar sedikitpun nada membentak atau nada bete. Satu percakapan yang benar-benar membuat saya ter-wow-wow, seperti ini:

Nenek: Mau ngapain to le kok balik?

Cucu: Mau nyuci sepatuku ini lho sudah kumal. Besok Senin mau dipakai upacara bendera.

Nenek: Duduk dulu ya, Mbah bikinin coklat cokolatos.

Cucu: Nanti sepatuku ndak kering, Mbah.

Nenek: Kering, nanti sore langsung Mbah cucikan, besok kan masih hari Minggu, pasti kering.

Lalu si cucu itu rebahan di belakang Mbahnya seperti gambar di bawah ini. 




Sorry to say, walau aku ndak izin saat ngambil gambar, tapi kemarin aku berpikir bahwa ini moment harus diabadikan, buat self reminder untuk selalu bersyukur atas segala sesuatu (agak ndak nyambung ya, haha). Btw, buatku scene ini begitu mengharukan. Rasanya Si Nenek ini sayang sekali sama cucunya. Dan Si Cucu ini lho yang bikin salut. Dia bahkan ndak mainan hp lho saat nungguin neneknya bikinin coklat buatnya (ya karena di gunung susah sinyal juga sih). Mereka ngobrol: tentang teman-teman sekolah cucunya dan tentang tetangganya. Terus aku jadi mikir, betapa dulu kecil aku lebih sering minta ini itu sama orang tua daripada baktinya :(. Semoga Si Nenek diberikan kesehatan, dan Si Cucu bertambah baktinya pada orang tua. (T)




Komentar