Jalan Anggur Nomor 1 || Bagian 1: Permulaan Melewati Batas


Pukul 22.00 tepat Mala kembali ke rumah. Seperti dugaannya, teman-temannya sudah tidur. Dia meletakkan tas di atas meja makan, kemudian mengambil plastik dari laci meja. Diisinya plastik itu dengan es batu dari kulkas. Ia mengompres memar di pergelangan tangan kanannya. Memar disebabkan oleh cengkeraman erat oleh suami dari kliennya yang baru saja dia antarkan pulang. Sore tadi, dia usai bertemu dengan klien yang minta diuruskan perceraiannya dengan sang suami sebab KDRT. Seorang klien yang datang dari lembaga perlindungan perempuan, dia melaporkan diri telah mengalami kekerasan fisik oleh suaminya sendiri. Mereka telah menikah selama puluhan tahun, selama itu juga sang istri menerima KDRT. Saat membaca kasus kliennya, dalam hati Mala sebenarnya sangat mengumpat, dia tidak habis pikir "kok bisa selama puluhan tahun hidup dengan orang tidak waras yang sering ngamuk." Laporannya ditulis begitu detail dengan kronologi yang lengkap. Pada waktu memberikan laporan, Mala pikir, dia sedang dalam kesadaran yang baik dan traumanya menghilang. Sayang sekali sore tadi ketika Mala bertemu dengannya, dia hanya mendengarkan cerita yang terbata-bata dari klien itu. Mala merasa iba, ia pikir mungkin trauma kembali menghantuinya. Dengan perasaan yang tertahan, ia memandangi kliennya, raut wajahnya memang memilukan. Terlampaui lemah untuk melawan monster yang sering mengamuk. Bagi Mala, suami seperti itu ibarat monster. Selalu muncul saat sedang punya amarah saja. Komposisi emosionalnya hanya ada satu yaitu amarah. 
"Huff..." Mala melenguh pelan, sembari mengumpat lagi dalam hati, ia merasa kesal dengan penjelasan yang baru saja diterimanya. Menurutnya, perempuan ini bukannya lemah dan tidak mau menghindar dari serangan monster, tetapi ada suatu alasan kuat yang membuatnya bertahan dengan suaminya ini. Alasan yang tidak dia ungkapkan dengan jujur, Mala tahu betul itu. Mala memastikan asumsinya dengan mengajukan pertanyaan ringan seputar pernikahannya. Kapan dan di mana dia menikah, bagaimana pernikahannya. Ternyata pertanyaan sepele itu terasa berat baginya. Ia menjawab dengan terbata-bata. Rupanya ia tidak pernah merasakan pernikahan yang semestinya. Sudah sepuluh tahun lebih mereka menikah, mereka dulunya kawin lari. Seperti cerita klasik pada umumnya, si perempuan tidak mendapat restu dari orang tuanya. Alasan ketidaksetujuannya yang lebih dari klasik: tidak cocok menurut aturan mitos. Suaminya adalah anak pertama sedangkan perempuan ini adalah anak ketiga. Seperti yang konon berulang kali diungkapkan oleh orang tua perempuan ini jika mereka berdua menikah, hanya kesengsaraan yang akan ditemui. Kalau tidak salah satu mati lebih dulu, ya bentuk kesengsaraan lainnya yang akan didapat, miskin atau bahkan tidak dapat keturunan. Sebuah kekhawatiran dari orang tua yang begitu mengerikan kepada anak sendiri. Kedua orang tuanya melarang keras pernikahan mereka. Apapun telah dilakukan untuk mencegahnya. Tetapi sepertinya masa muda perempuan itu penuh dengan rasa percaya diri, ia tepis jauh-jauh anggapan itu. Ia kawin lari dengan laki-laki yang dicintainya. Segala cara dilakukannya pula untuk bisa hidup bahagia bersama laki-laki itu. Tahun awal pernikahan mereka memang dipenuhi dengan rasa bahagia. Berkecukupan dan jauh dari orang-orang yang menentangnya. Namun nampaknya semakin lama ternyata kekhawatiran orang tua perempuan ini lebih kuat dibandingkan dengan rasa percaya diri anaknya. Secara kebetulan, terjadilah kemalangan yang menimpa hidupnya. Tiga tahun setelah kawin larinya, anaknya meninggal pada usia satu setengah tahun karena lemah jantung. Sejak saat itu, suaminya mulai berubah menjadi seseorang dengan tingkat sentimen yang tinggi, sering menyakiti dan menganiaya tanpa ampun. Awalnya, perempuan ini menutup-nutupi masalah hidupnya oleh sebab suatu alasan yang mutlak: malu kepada orang tua. Apa dikata orang tuanya kalau mereka tahu hidupnya senelangsa ini. Makanya dia selama ini tidak mau bercerai dari suaminya yang sudah tidak waras itu. Ia sembunyikan rapat-rapat dari semua orang penderitaannya itu, walaupun orang tuanya juga tidak bakal tahu keadaannya selama ini sebab keberadaannya saja bahkan tidak mereka ketahui. Tetapi antisipasinya sudah terlalu jauh. Kewaspadaannya yang berlebihan menjadikan kecemasan yang tak beralasan. Ia lebih sering di rumah, enggan berinteraksi dengan orang lain. Bahkan dengan dokter yang menangani lukanya saja dia sering mengarang cerita untuk menutupi semua yang terjadi dalam hidupnya. Ia enggan untuk dikasihani. Hidupnya makin lama makin egois. Setiap hari, ia berdoa supaya suaminya segera berubah. Berdoa saja tanpa ada usaha yang berarti. Bisa dibilang demikian sebab misalnya selama berminggu-minggu suaminya tidak pulang ke rumah, dia tidak melakukan apapun. Hanya menunggu diam di rumah seperti orang kurang kerjaan. Sekali suaminya pulang, kenyataan dari mimpi untuk bisa bermanja dan bercengkrama adalah berkebalikan. Suaminya pulang hanya kalau butuh seseorang untuk diamuk, yang tidak akan melaporkannya ke polisi juga.
"Seharusnya anda bercerai dari dulu!" kata Mala geram. Mala menarik nafas dalam-dalam. Bingung dia harus menanggapi bagaimana. Di era modern ini, masih ada juga ternyata orang-orang nelangsa yang perang batin seperti kliennya itu. Akhirnya dia menawarkan tumpangan pulang kepada kliennya itu. Dia menyiapkan kunci mobil kemudian bergegas untuk mengambilnya. Di sepanjang perjalanan pulangpun mereka tidak saling bicara. Sampai akhirnya telepon dari suami kliennya memecah keheningan dalam mobil mereka. Ternyata itu adalah telepon dari suami kliennya. Sebelum mengangkat telepon, kliennya menoleh ke arah Mala. Dari pelipis mata, Mala bisa melihat kalau kliennya minta pertimbangan, maka ia mengangguk dan mempersilakan kliennya untuk mengangkat. Belum sempat kliennya mengucapkan salam, suaminya sudah berteriak-teriak tanpa bisa jelas didengar oleh Mala.
"A..aku sedang dalam perjalanan pulang."
Kemudian suaminya di seberang sana mengatakan sesuatu yang tidak bisa Mala dengar secara jelas. Lalu telepon terputus.
Tidak ada percakapan yang terjadi selanjutnya antara mereka. Mala cuma geleng-geleng kepala. Wanita di sebelahnya nampak malu. Mala melirik dari kaca, perempuan ini tidak berani mendongakkan pandangannya, nampaknya dia memang benar tidak nyaman dengan rasa kasihan dari orang lain. Kepeduliannya pada klien sampai sejauh "menumpangi" begini juga sebenarnya dinilai  berlebihan tetapi bagaimana lagi, perempuan ini bahkan tidak punya ongkos untuk pulang. Dia datang ke kantor saja jalan kaki. Setengah jam dalam keheningan, rupanya mereka sudah sampai di tujuan. Rumah persembunyian perempuan ini ada di gang sempit. Gang sempit yang bisa saja orang tuanya tidak bakal menemukannya, tapi ternyata doa-doa yang dikirimkan mereka mampu menyusup di gang sempit, mengetuk rumah dan hati anak perempuannya ini.
Setelah Mala memarkir mobilnya di luar gang, dia bermaksud untuk mengantarkan wanita itu ke rumahnya dengan jalan kaki. Dengan cepat kliennya menolak. "Aku hanya memastikan kalau klienku baik-baik saja," Mala mendahului seolah sudah tahu di mana rumah wanita itu. Tetapi langkah Mala langsung berhenti setelah melihat seorang laki-laki menunggu di bawah tiang listrik di perempatan. Itu pasti suami kliennya. Kliennya berjalan mendahului tanpa melihat sesuatu aneh atau sesuatu yang mengancam di hadapannya. Mala justru berfikir kalau sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Dari nada bicara, laki-laki itu kedengaran sangat temperamen. Barangkali, ia akan menyambut istrinya dengan sebuah tamparan. Mala segera mengejarnya, tetapi suami wanita itu lebih cepat untuk menghampiri istrinya. Dugaan Mala salah, dia tidak menampar, melaikan memukul kepala istrinya. Laki-laki itu meracau. Nampaknya dia sedang mabuk juga, bicaranya ngawur dan tidak jelas. Setelah meracau, dia memukul istrinya lagi. Tapi entah kenapa istrinya diam saja. Ya Tuhan, apakah betul dia bisa bertahan dengan orang yang tidak punya hati itu selama sekian lama. Bagaimana sesungguhnya dia menjalani hari-harinya yang selalu buruk? Kehidupan orang lain seringkali membuat Mala tidak habis pikir. Mala berlari, bermaksud mengajak kliennya pergi dari jangkauan suaminya itu. Tetapi pergelangan tangannya malah dirampas oleh laki-laki itu, kemudian dicengkeramnya penuh dendam, lalu dipelintir. Mala berteriak kesakitan. Sejurus kemudian kliennya menggigit lengan suaminya supaya dia melepsakan cengkeraman itu. Sekali lagi laki-laki itu memukul kepala kliennya, setelah melepaskan cengkeraman tangan kepada Mala. Dia pergi dengan menyeret istrinya. Mala masih menahan sakit sambil memegangi pergelangan tangannya. Mala ingin mengejar mereka tetapi nampaknya akan menambah arogansi dari laki-laki itu. Mala kembali ke mobil setelah memastikan bahwa kliennya telah telah digiring untuk masuk rumah.

*
Mala membuka kotak obat sambil tetap mengompres tangannya yang memar. Diambilnya obat pereda memar. Ia oleskan banyak-banyak ke seluruh pergelangan tangan sampai ia merasakan dingin. Plastik esnya dia letakkan di meja makan sementara dia mengisi kembali cetakan es batu dengan air. Ini bukan kali pertama dia mendapatkan serangan dari klien. Sudah yang kesekian kalinya. Entah berapa kali. Ingin sekali rasanya dia membujuk kliennya juga supaya mau melaporkan suaminya untuk kasus penganiayaan, tetapi sayang sekali kliennya itu tidak mau terlalu menyakiti suaminya itu dengan mengurungnya di penjara. Sungguh sebuah kemuliaan yang bertentangan dengan akal sehat Mala. Dia tahu, musuh besar kliennya bukan pada suaminya, tetapi rasa gengsi yang menggunung kepada kedua orang tuanya. Besok, Mala akan meyakinkan kliennya itu bahwa tidak usah dipertimbangkan lagi keputusannya untuk bercerai itu. Orang tua tetap akan menerimanya apa adanya. Lagipula, bukankah kepulangannya ke rumah sudah dinantikan sejak lama? Kalaupun dia merasa ada perasaan lain kepada orang tuanya, rasa berdosa mungkin, urusan pertobatan hanya bisa dilakukannya seorang diri. Tetapi menyendiri dan menyesali perbuatan terus menerus bukanlah bentuk pertobatan yang baik. Tak tahan, ia mengirim sebuah pesan singkat berisi nasehat untuk kliennya. Sungguh tindakannya ini di luar batas etiknya sebagai anggota tim pengacara. Tetapi rasa kemanusiannya tidak akan tega membiarkan penindasan seperti itu terjadi. Perempuan bisa memilih. Kalau terlalu lama, berarti ia hanya perlu dikuatkan argumennya. Melalui pesan instan, diketiklah nasehat itu panjang lebar. Isinya persis seperti apa yang dipikirkannya setelah mengoleskan salep tadi. Setelahnya, ia membereskan kotak obat, membuang es batu yang telah mencair, mematikan lampu dapur kemudian menuju ke kamar untuk tidur. Ia berharap pesan itu sudah dibaca kliennya malam ini untuk direnungkan baik-baik, kemudian besok pagi kliennya akan datang ke kantor untuk mempercepat perceraiannya. Itu maunya. Tetapi kemudian ia harus ingat satu hal bahwa ia tidak benar-benar tahu apa yang dipikirkan orang lain, termasuk kliennya. Kendati segala alasan rasional sudah diungkapkan, tidak semua orang akan setuju padanya, harusnya Mala paham dan ingat betul itu supaya ia tidak benar-benar kecewa pada orang lain, saat ia tidak mendapati adanya tanggapan yang sesuai angan-angannya di hari esoknya. Dan hari-hari setelahnya. (B)

Yogyakarta 1 Januari 2020




Komentar