Jalan Anggur Nomor 1 || Bagian 2: Ulang Tahun Ibu Luke

Luke berpapasan dengan Nike di dapur. Nike kaget melihat Luke sudah mandi pagi begini."Tumben, Luke," sapa Nike sambil menyalakan kompor untuk mendidihkan air. 
"Ya, anak pertama sudah ribut menyuruhku untuk segera pulang," jawab Luke sambil berlalu menuju kamarnya. Sebutan anak pertama adalah sebutan pengganti untuk kakak laki-laki Luke. Nike berkata oh pelan sambil membuka kulkas hendak mencari sesuatu. Ia jadi teringat kalau nanti malam mereka akan berkumpul di rumah orang tua Luke untuk merayakan hari ulang tahun Nyonya Smara, Ibunda Luke. Mengingat itu, Nike jadi lupa tujuannya membuka untuk apa. Ia menutup kembali kulkas dan bergegas mengambil cangkir untuk membuat teh madu, ritualnya setiap sebelum mandi. Nike menyalakan televisi sembari menunggu airnya mendidih. Belum sempat Nike mendengar penyiar berita di televisi bicara, dia sudah mendengar terlebih dahulu langkah kaki Luke dan suara ponselnya yang nyaring. "Ya Tuhan, dia cerewet sekali." teriak Luke kesal kepada abangnya. "Kak, aku pergi ya!" tergopoh-gopoh dia menuju pintu sambil memakai sepatu dan membenarkan pakaiannya yang belum rapi. 
"Take care, see you, Luke!" Balas Nike. Nike menutupkan pintu untuk Luke. Kemudian ia ingat kalau airnya sudah mendidih. Diangkatnya catle dari kompor. Dituangkanlah air mendidih itu ke dalam gelasnya yang berisi teh. Ia tambahkan tiga sendok madu ke dalamnya. Lalu ia duduk untuk menikmati teh sambil menonton berita. Tidak lama kemudian, Mala keluar dari kamarnya. Ia duduk di sebelah Nike. Lengannya yang masih biru ternyata mencuri perhatian Nike. "Astaga, habis berkelahi?"
Mala berpikir sejenak, kenapa Nike baru tahu padahal itu bekas luka satu minggu yang lalu, oh rupanya kemarin ditutupnya lengannya itu dengan kaos lengan panjang, baru kali ini dia berani memakai kaos lengan pendek. Ternyata masih juga menyita perhatian Nike. Mala menjawabnya hanya dengan mengangkat alis. Nike mengamati cedera lengan Mala lebih dekat. "Tenang, sudah tidak sakit. Penampakannya saja yang berlebihan." 
"Aku baru saja punya ide membawamu ke IGD." 
"Kemudian aku hanya akan ditertawakan perawat di sana. Kak, lenganku sedang begini. Buatkan aku sarapan..." bujuknya pada Nike. 
"Ck, barusan bilang lenganmu sudah tidak sakit." Nike mendorong tubuh Mala menjauh. 
"Aku diserang penjahat tempo hari. Sungguh mengerikan kehidupan di kota ini." terang Mala sambil mencoba melihat tayangan di televisi kendati ia sebenarnya masih ingin tidur. 
"Lain kali daripada harus pulang larut malam, aku lebih merestuimu untuk tidur di kantor."
"Tapi aku takut hantu di kantor."
"Sadarlah kalau hidupmu lebih sering menghantuiku."
Mala tersenyum lebar. Ia sadar betul kalau hidupnya memang telah banyak merepotkan Nike. Nike yang memberikannya tumpangan selama dia berada di sini. Nike merawatnya saat dia sakit-sakitan tidak jelas. Suatu hari, Mala menabrak mobil yang parkir di pinggir jalan karena dia harus menghindari seorang anak kecil yang menyebrang. Mala bersitegang dengan pemilik mobil, Nike yang berhasil mendamaikan. Mala mengganti rugi tetapi kekurangan uang, Nike yang menyukupinya.
"Tidak perlu merasa bersalah begitu." Nike mengagetkan lamunan Mala. "Aku akan buatkan sarapan untukmu, nanti belilah kue ulang tahun untuk Ibu Luke. Kita berangkat bersama setelah kau pulang kerja." Nike meneguk tehnya tiga kali.
"Oh.... aku hampir saja lupa. Baiklah." Mala memberikan hormat kepada Nike dan mempersilakannya untuk segera membuat sarapan. Nike bangkit dengan kesal. 
 *
Ibu Luke, Nyonya Smara, adalah tipikal petani desa yang kaya, tapi tidak terlalu sadar kalau dirinya kaya. Ibu Luke mempunyai dua orang anak Sastra dan Lukita. Abang Luke, Sas, bekerja sebagai wartawan kedutaan di Sydney. Berbeda dengan abangnya, Luke mendamba menjadi seorang petani kaya seperti ibunya. Bayangan masa depannya adalah menghabiskan waktu seharian untuk bercocok tanam dan mengasah skill lain berkaitan dengan pertanian. Luke kuliah dengan mengambil jurusan Agribisnis. Di tahun keempat kuliahnya, Sas membeli aset rumah sederhana di kota tempat Luke kuliah, di Jalan Anggur Nomor 1. Rumah itu berada di pojokan jalan. Dari Jalan utama, dia mendapatkan sisi samping rumah. Pintu rumah itu berada di Jalan Anggur dan menghadap ke Timur. Tetapi abang Luke adalah seorang yang oportunis, termasuk kepada adiknya sendiri. Luke disuruhnya mengelola rumah itu sebagai aset. Dia disuruh menyewakan setiap kamarnya. Luke sendiri bingung harus memulai darimana menyewakan kamar seperti itu. Selama satu tahun Luke mendiami rumah itu sendiri. Dia sama sekali belum menguasai teknik pemasaran sewa properti. Dalam masa ketidaktahuannya itu, dia banyak mendekorasi dan menjadikan halaman depan sebagai lahan pertanian kecil. Beberapa petak dia gunakan untuk tanaman hidroponik dan banyak lainnya dia tanam pohon buah dan banyak sekali bunga anggrek. Luke suka sekali dengan anggrek. Rumah itu nampak rimbun. Banyak bunga dan tumbuhan subur di halaman depan dan samping rumah. Kemudian setelah lulus dari kuliah Luke bersama teman-teman kuliahnya berhasil membuat platform jual beli sayuran, buah, bunga serta bibit tanaman. Mereka berhasil menghimpun banyak petani, termasuk Ibunya sendiri, untuk dapat menyalurkan produk mereka tanpa distribusi yang panjang. Mereka juga menyewa lahan dekat kantor mereka untuk membantu memperbanyak sayuran organik. 
Nike adalah seorang vegetarian. Dia berlangganan membeli segala kebutuhan bahan makanannya di tempat Luke. Kadang dia memanfaatkan layanan antar yang disediakan, kadang  ia mengambil sendiri pesanannya di unit kesra. Dari situlah Luke berkenalan dengan Nike. Suatu hari Nike mengeluhkan kalau sewa unit studionya tidak bisa diperpanjang karena induk semangnya mewariskan unit itu kepada anak mereka yang baru saja menikah. Unit itu akan dipakai mereka sendiri. Kemudian Luke secara spontan menawarkan kepada Nike untuk menyewa salah satu kamar di rumahnya. Nike ternyata mau. Nike dan Luke merupakan bentuk nyata simbiosis mutualisme. Mereka tahu betul itu. Nike tidak perlu khawatir akan pola hidup vegetarian yang dia jalankan. Malah, dia akan lebih dahulu menerima informasi tentang produk organik terbaik dari petani-petani Luke. Sedangkan Luke, akhirnya bisa memamerkan keberhasilannya mengelola aset milik abangnya itu. Enam bulan berlalu, kemudian datang Mala. Dia adalah teman Nike. Suatu hari Nike bilang ke Luke apakah bisa seorang temannya menyewa juga rumah itu. Tentu! Mata Luke berbinar-binar saat itu. 
 *
Sore harinya, seperti dugaan Nike, Mala akan datang terlambat. Dia datang dengan tergopoh-gopoh. Nike menyuruh Mala ganti baju saja, tidak perlu mandi karena sudah hampir malam. Luke sudah berulang kali menelfon. 
Mereka sampai di rumah ibu Luke dan mendapati muka Sas sudah terpampang di layar televisi. Nike bergidik kaget sembari memberikan ucapan ulang tahun kepada Nyonya Smara. Muka Sas tampak memenuhi layar. Mala memberikan ucapan selamat juga pada Nyonya Smara. Sas buru-buru menyapa mereka. Nike menyambut sapaan Sas. "Pulang saja Sas daripada terus menerus kau mempermainkan banyak perasaan gadis Sydney." 
"Memang pada akhirnya mereka tahu keburukanku. Sial, aku tidak sepandai playboy dalam film."
"Bang, kami di sini bersama Ibu Smara yang sedang berulang tahun. Anak macam apa kau ini tidak datang saat Ibunya berulang tahun?" celetuk Mala. Nyonya Smara terkekeh. 
"Hey, bulan depan aku naikkan harga sewa khusus untukmu."
"Bakal kubuat rumor rumah itu berhantu." mereka tertawa.
"Sudah ayo kita makan saja, Sas, apa kau mau hanya melihat kami makan? Masaklah makanan biar kehidupan bujangmu tidak terlalu menyedihkan. Harusnya kau pulang saja dengan membawa cucu seperti janjimu pada ibu." Nyonya Smara menyuruh Luke segera mengakhiri telepon itu. 
Luke melambaikan tangan kepada Sas. Sas bilang untuk tidak menutup teleponnya. Tapi Luke lebih patuh pada Ibunya terlebih dia susah bosan sekali menatap wajah Sas. Sambungan telepon terputus. Luke melihat muka kesal Abangnya sebelum ia hilang dari layar. Luke tertaa geli.
Nyonya Smara mempersilakan mereka untuk makan. Nyonya Smara memuji ayam yang dibawa Nike dan Mala. Ia benar-benar menyukainya. 
Mala sedang mencuci tangannya di dapur ketika dia mendapati handphone Nyonya Smara berdering. Mala mengambil lap sambil menengok nama kontak yang menelfon. Mala tertegun memgetahui nama kontak itu sama dengan nama kliennya tempo hari yang tiada berkabar sampai hari ini. Kemudian Mala menepis pikirannya yang beranggapan kalau itu adalah orang yang sama. Kesamaan nama bukankah suatu hal yang lazim di dunia ini? Mala buru-buru bilang kepada Nyonya Smara kalau dia mendapat telepon. Nyonya Smara menyuruh untuk tidak menghiraukannya. Mala menurut saja. Sebelum bilang, Nyonya Smara sudah tahu siapa yang menelfonnya. 
"Kelihatannya penting sekali."
"Iya tapi biarkan saja. Besok Ibu akan menghubunginya. Wanita malang itu meminta pekerjaan. Ibu tahu dalam situasi seperti ini dia pasti sedang dipaksa suaminya untuk menghasilkan uang untuknya berjudi. Ibu sebenarnya sudah kesal dan tak kurang-kurang menasehatinya untuk berpisah saja dengan suaminya. Tapi entahlah, Ibu tidak paham juga dengan konsep cinta generasi sekarang ini. Ayo, kita makan dulu saja."
Mala mengerutkan dahi. Nyonya Smara baru saja membicarakan orang yang sedang dia cari. Tapi mungkin saja berbeda. Hanya saja apa yang dikatakan Nyonya Smara terdengar sangat akrab di telinga Mala. Orang ini adalah klien Mala yang kabur beberapa waktu lalu.
Nyonya Smara mendapati Mala masih melamun. Ia menyentuh tangan Mala, "Ayo, makan dulu."
"Ah, iya, baik," Mala gugup berusaha menyembunyikan pikirannya. 
Apa sebenarnya relasi Nyonya Smara dengan kliennya itu? (B)

17 Mei 2020

Komentar